Halaman

Sabtu, 11 Mei 2013

Artikel "Kemanakah Pancasila Pergi?"




Abstraksi
            Bagi bangsa Indonesia, tidak diragukan lagi kebenaran dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, namun jiwa dan semangat Pancasila tersebut masih belum mendarah daging dalam seluruh tubuh bangsa Indonesia umumnya. Hal ini terbukti pada keyakinan itu baru tampak dan berwujud ketika sudah terjadi penyelewengan  atau penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila. Penghianatan-penghianatan terhadap kepribadian Pancasila inilah yang menjadi sumber malapetaka bagi bangsa dan negara ini. Berbagai penyimpangan tersebut, sangat tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang dulunya di cita-citakan para pendiri bangsa. Kemana pancasila itu pergi?
Kata Kunci : Pancasila, nilai, penyimpangan.
Kemanakah Pancasila Pergi?
oleh Ryan Yuli Purnami
Setiap bangsa yang ingin dengan jelas mengetahui ke mana arah tujuannya dan dapat berdiri kokoh, sangat memerlukan suatu pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya, menentukan arah serta cara bagaimana bangsa tersebut menyelesaikan persoalannya. Tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan terombang-ambing dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang timbul, baik itu masalah dalam masyarakatnya sendiri, maupun masalah hubungan masyarakatnya dengan bangsa lain di dunia. Dengan pandangan hidup yang jelas, suatu bangsa akan memiliki pegangan atau pedoman dalam menyelesaikan persoalan-persoalan agar dapat membangun bangsa yang lebih baik.
Bagi bangsa Indonesia, tidak diragukan lagi kebenaran dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Ketika bangsa ini merdeka, telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai falsafah kehidupan bangsa. Dengan modal dasar negara Pancasila, para pendiri bangsa mencoba membentuk, membenahi, dan menjalankan negara. Meskipun akhirnya dalam pelaksanaannya terjadi jatuh bangun, namun bangsa ini masih tetap mencoba untuk tegak berdiri. Pancasila yang penuh dengan nilai-nilai luhur, mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Sebenarnya, para pendiri bangsa ini awalnya ingin mentransformasikan karakter dan nilai-nilai luhur Pancasila tersebut ke dalam jiwa dan raga masyarakat, namun dalam perjalanan waktu hal tersebut sulit dilakukan.
Berkaca pada kondisi yang terjadi pada masa ini, Pancasila hanyalah sebuah simbol dari Negara Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, namun nilai-nilainya semakin terabaikan. Memang kita akui bahwa bangsa Indonesia pada umumnya sudah meyakini dan menyadari akan kebenaran Pancasila, tetapi jiwa dan semangat Pancasila tersebut masih belum mendarah daging dalam seluruh tubuh bangsa Indonesia umumnya. Hal ini terbukti pada keyakinan itu baru tampak dan berwujud ketika sudah terjadi penyelewengan  atau penyimpangan terhadap Pancasila. Penghianatan-penghianatan terhadap kepribadian Pancasila inilah yang menjadi sumber malapetaka bagi bangsa dan negara ini. Dimana segala sesuatu tidak diletakan pada tempatnya. Ibarat hukum alam, di mana kaki dipijak di situ langit dijunjung, di mana kamu hidup harusnya kamu bisa menghargai itu, tapi karena tidak saling menghormati masing-masing kebiasaan terjadilah bentrokan antar suku, saling ejek,saling hina satu sama lain dan itu bukan hal yang aneh lagi di negeri ini.
Sila pertama yang menjadi tonggak hidup adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara mengakui ada lima agama yang dianut oleh masyarakat, diantaranya adalah Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Katholik. Indonesia sebagai negara yang demokrasi membebaskan masyarakat hidup rukun antaragama. Namun demikian, tetap saja banyak terjadi penyimpangan. Kerusuhan antar umat beragama masih sering terjadi. Adanya kasus teror bom dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang salah dan kurang pengertian akan agamanya. Misalnya peristiwa ledakan bom yang terjadi di hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli 2009 lalu. Peristiwa bom bunuh diri tersebut menewaskan 9 orang korban dan melukai lebih dari 50 orang lainnya, baik warga Indonesia maupun warga asing (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Jakarta_2009). Pelakunya adalah sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam. Mereka salah mengartikan kata jihad dalam ajaran agama Islam. Masyarakat harus mengerti bahwa pada dasarnya setiap agama mengajarkan untuk hidup berdamai. Toleransi antar umat harus terus dibangun, agar tiang bangsa ini semakin kokoh. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Jokowi-Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Terbukti mereka dipercayai oleh rakyat sebagai pemimpin. Walaupun mereka berbeda agama, namun dalam hal kepemerintahan mereka dapat bekerja sama dengan baik. (sumber: politik.kompasiana.com/2012/09/24/hampir-separuh-jakarta-belum-percaya-jokowi-ahok-495671.html).
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Memberadabkan sesama merupakan modal utama dalam relasi sosial. Indonesia sangat menjunjung tinggi adanya peri kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya-upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah telah mengupayakan agar rakyat memeroleh persamaan hak di depan hukum, seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Namun kenyataannya, hal tersebut hanya sebagai simbol semata. Banyak terjadi kasus penganiayaan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Para pelaku dengan sengaja melakukan berbagai tindak kejahatan tersebut. Mereka seakan tidak memiliki peri kemanusiaan lagi. Hal yang harus diperhatikn adalah bagaimana kita memanusiakan manusia. Manusia sebagai ciptaan Tuhan harus senantiasa dijunjung martabatnya, bukan justru direnggut kemartabatannya. Lalu dimana rasa kemanusiaan itu?
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Persatuan bangsa kita, sangat jelas tergambar dalam naskah sumpah pemuda. Para Pemuda berjanji bahwa berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Namun, cita-cita para pemuda itu nampaknya sulit untuk dipertahankan. Kita lihat saja keadaan dunia politik negara ini. Sudah tidak dapat dihitung lagi berapa banyak partai politik. Namun apa yang mereka lakukan untuk bangsa ini? Setiap akan diadakannya pemilu, partai-partai tersebut berlomba mencuri simpatik rakyat. Mereka sibuk memikirkan cara bagaimana bisa menang dalam pemilu tersebut. Tak segan mereka menggunakan cara licik, misalnya politik uang. Jelas terlihat bahwa mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok, bahkan pribadi saja. Lalu dimanakah nilai persatuan itu ada? Seharusnya mereka bersatu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, membuat bangsa ini dapat berdiri dengan tegak. Bukan justru memecah belah menjadi partai-partai yang memperjuangkan kemenangan partai tersebut, tanpa memikirkan nasib rakyat yang telah termakan oleh janji-janji mereka.
Di kalangan generasi muda, nilai-nilai persatuan sudah terlihat pudar, bahkan dapat dikatakan sudah menghilang. Kita lihat saja banyaknya kasus bentrok dan tawuran, baik itu di kalangan pelajar maupun mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agen of change,  justru memberikan contoh yang kurang baik kepada generasi di bwahnya, yaitu SMA, SMP, maupun SD. Mahasiswa memang dibenarkan dalam hal mengeluarkan aspirasi atau pendapat dalam bentuk demonstrasi. Namun, kewenangan ini disalahgunakan oleh mahasiswa, yang seenaknya saja menggunakan unsur anarkisme. Pada ujungnya akan terjadi bentrok mahasiswa dengan petugas, bahkan antar sesama mahasiswa. Inilah yang salah di negara ini. Negara yang katanya beragama dan berbudaya tinggi ini, sekarang lebih dikenal dengan negara anarkisme.Para penerus bangsa seharusnya tidak merusak tatanan yang sudah ada, namun sebisa mungkin memperbaikinya. Menggalang persatuan dan kesatuan untuk Indonesia yang lebih baik ke depannya.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Adanya sistem demokrasi, pemerintahan di tangan rakyat, merupakan aktualisasi dari sila ini. Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih siapa yang akan memimpin dan mewakili mereka di dunia pemerintahan. Namun kepercayaan yang telah diserahkan oleh rakyat tersebut, sering disalahgunakan oleh para wakil rakyat. Kita lihat saja rencana program pemerintah kesekjenan DPR di akhir tahun 2012 yang meliputi :
1.      Penggantian pagar batas dengan Taman Ria, Rp 1.023.211.000 (per 30 November)
2.      Renovasi toilet Gedung Nusantara I DPR RI Rp 1.406.291.000 (per 22 November)
3.      Perbaikan ruang kerja anggota di Gedung Nusantara I DPR RI, Rp 6.267.286.000 (per 27 November)
4.      Pengadaan tenaga keamanan pada Setjen DPR, Rp 13.168.706.600
5.      Perbaikan waterproofing lantai 3 dan 4 gedung Nusantara I DPR, Rp 729.724.000
6.      Pengadaan mesin foto copy kecepatan tinggi untuk masing-masing sekretariat fraksi, Rp 1.667.500.000
Bila dijumlahkan, keseluruhan proyek akhir tahun ini senilai Rp 24.272.718.600 (sumber: http://forumkeadilan.com/read/2012/11/07/meski-dikecam-renovasi-toilet-dpr-rp14-milyar-tetap-jalan/) Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, hanya digunakan untuk memfasilitasi para pejabat pemerintahan. Lalu bagaimana dengan kondisi anak-anak jalanan dan keluarga miskin lainnya?
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika kita perhatikan, pelaksanaan nilai keadilan di negara ini masih sangat sedikit. Kita lihat saja dari dunia hukum. Pada hakikatnya, setiap masyarakat memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun kenyataannya, banyak masyarakat kecil yang dipandang rendah di mata hukum. Mereka cenderung dikalahkan oleh orang-orang berjas dan bermobil mewah. Kita lihat kasus korupsi di pemerintahan negara ini yang tak ujung berhenti. Tiap tahun selalu muncul kasus-kasus korupsi, baik itu di tingkat pemerintah daerah maupun di tingkat pusat. Misalnya kasus bank Centuri yang hingga kini belum menemukan titik terang. (sumber: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/03/11244617/ Timwas.Century.Panggil.Penyidik.Polri.dan.Kejaksaan?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=). Hukum yang berlaku bagi para koruptor itu pun tak adil. Uang rakyat yang mereka korupsi bertriliun-triliun rupiah, namun mereka hanya dijatuhi hukuman sekitar 2 tahun penjara. Selain itu, denda yang harus mereka bayar tidak sepadan dengan uang hasil korupsi mereka. Bandingkan dengan kasus pencurian kelapa sawit oleh seorang kakek di Sampit yang dihukum 6 bulan penjara.
Di bidang kesehatanpun, keadilan tetap saja tidak dapat ditegakkan. Adanya kartu jaminan kesehatan bagi keluarga yang tidak mampu, tidak akan berhasil jika pelaksanaannya masih banyak penyimpangan. Banyak keluarga miskin yang ingin berobat dengan kartu tersebut,dengan harapan akan memperoleh pelayanan secara gratis. Namun apa yang terjadi? Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan pelayanan dengan baik. Misalnya di Jakarta baru-baru ini, ada seorang ibu yang mengobatkan anaknya ke Rumah Sakit dengan membawa kartu tersebut, namun ditolak. Pihak rumah sakit memberikan alasan bahwa semua kamar telah penuh oleh para pejabat yang sakit. Kalau hal serupa masih banyak terjadi, angka kematian di Indonesia akan semakin tinggi. Di mana letak keadilan di negara ini?
Berbagai penyimpangan tersebut, sangat tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang dulunya di cita-citakan para pendiri bangsa. Kemana pancasila itu pergi? Menyikapi berbagai penyimpangan nilai-nilai Pancasila tersebut, masyarakat perlu untuk menginternalisasikan dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara semestinya menjadi landasan spiritualitas bangsa Indonesia. Ketuhanan seharusnya menjadi landasan etik hidup bernegara, nilai-nilai kemanusiaan semestinya menjadi landasan, nilai persatuan menjadi warisan pendiri bangsa, nilai demokrasi menjadi acuan kehidupan berbangsa bernegara, serta nilai keadilan menjadi tujuan semua warga tanpa terkecuali. Nilai-nilai Pancasila ini harus direfleksikan dan diinternalisasikan lagi dalam kehidupan sehari-hari. Yang perlu dilakukan adalah proses radikalisasi Pancasila. Radikalisasi yang dimaksud adalah radikalisasi untuk membuat Pancasila lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis, dan bersifat fungsional
Pancasila harus kembali ditanamkan dalam jiwa-jiwa anak bangsa melalui proses pendidikan di semua lapisan masyarakat. Kita semua memiliki tanggungjawab moral untuk membangun toleransi, menegakkan dan memperkokoh empat pilar kenegaraan dalam setiap diri anak bangsa. Terkait dengan hal ini maka setiap warga negara, penyelenggara negara dan lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan lainnya sudah saatnya memahami serta mengimplementasikan empat pilar kenegaraan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila, Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhineka Tunggal Ika semakin kokoh dan tidak mudah rapuh oleh berbagai tantangan dan ancaman yang menghadang bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.
Kini sampai kapankah penyimpangan ini akan terus terjadi? Karakter Pancasila yang katanya berpihak pada ekonomi kerakyatan, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi karakter tersebut tidak dimiliki manusia-manusia yang ada di dalamnya. Kemanakah spiritualitas Pancasila itu pergi? Jangan-jangan Sang Garuda sedang terlelap atau masih pergi ke Luar Negeri? Salah didikkah anak-anak di negeri ini? Bisa saja itu terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar