Abstraksi
Bagi bangsa Indonesia,
tidak diragukan lagi kebenaran dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup
dan dasar negara, namun jiwa dan semangat Pancasila tersebut masih belum
mendarah daging dalam seluruh tubuh bangsa Indonesia umumnya. Hal ini terbukti
pada keyakinan itu baru tampak dan berwujud ketika sudah terjadi
penyelewengan atau penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila. Penghianatan-penghianatan terhadap kepribadian Pancasila
inilah yang menjadi sumber malapetaka bagi bangsa dan negara ini. Berbagai penyimpangan
tersebut, sangat tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang dulunya
di cita-citakan para pendiri bangsa. Kemana pancasila itu pergi?
Kemanakah Pancasila
Pergi?
oleh Ryan Yuli Purnami
Setiap bangsa yang ingin dengan jelas mengetahui ke
mana arah tujuannya dan dapat berdiri kokoh, sangat memerlukan suatu pandangan
hidup. Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan memandang
persoalan-persoalan yang dihadapinya, menentukan arah serta cara bagaimana
bangsa tersebut menyelesaikan persoalannya. Tanpa memiliki pandangan hidup,
suatu bangsa akan terombang-ambing dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
bangsa yang timbul, baik itu masalah dalam masyarakatnya sendiri, maupun
masalah hubungan masyarakatnya dengan bangsa lain di dunia. Dengan pandangan
hidup yang jelas, suatu bangsa akan memiliki pegangan atau pedoman dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan agar dapat membangun bangsa yang lebih baik.
Bagi bangsa Indonesia, tidak diragukan lagi kebenaran
dan ketetapan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Ketika bangsa
ini merdeka, telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar negara, dan Bhineka
Tunggal Ika sebagai falsafah kehidupan bangsa. Dengan modal dasar negara
Pancasila, para pendiri bangsa mencoba membentuk, membenahi, dan menjalankan
negara. Meskipun akhirnya dalam pelaksanaannya terjadi jatuh bangun, namun
bangsa ini masih tetap mencoba untuk tegak berdiri. Pancasila yang penuh dengan
nilai-nilai luhur, mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Sebenarnya, para
pendiri bangsa ini awalnya ingin mentransformasikan karakter dan nilai-nilai
luhur Pancasila tersebut ke dalam jiwa dan raga masyarakat, namun dalam
perjalanan waktu hal tersebut sulit dilakukan.
Berkaca
pada kondisi yang terjadi pada masa ini, Pancasila hanyalah sebuah simbol dari
Negara Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, namun
nilai-nilainya semakin terabaikan. Memang kita akui bahwa bangsa
Indonesia pada umumnya sudah meyakini dan menyadari akan kebenaran Pancasila,
tetapi jiwa dan semangat Pancasila tersebut masih belum mendarah daging dalam
seluruh tubuh bangsa Indonesia umumnya. Hal ini terbukti pada keyakinan itu
baru tampak dan berwujud ketika sudah terjadi penyelewengan atau penyimpangan terhadap Pancasila.
Penghianatan-penghianatan terhadap kepribadian Pancasila inilah yang menjadi
sumber malapetaka bagi bangsa dan negara ini. Dimana segala sesuatu tidak diletakan pada tempatnya.
Ibarat hukum alam, di mana kaki dipijak di situ langit dijunjung, di mana kamu
hidup harusnya kamu bisa menghargai itu, tapi karena tidak saling menghormati
masing-masing kebiasaan terjadilah bentrokan antar suku, saling ejek,saling
hina satu sama lain dan itu bukan hal yang aneh lagi di negeri ini.
Sila
pertama yang menjadi tonggak hidup adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara
mengakui ada lima agama yang dianut oleh masyarakat, diantaranya adalah Islam,
Kristen, Budha, Hindu, dan Katholik. Indonesia sebagai negara yang demokrasi
membebaskan masyarakat hidup rukun antaragama. Namun demikian, tetap saja
banyak terjadi penyimpangan. Kerusuhan antar umat beragama masih sering
terjadi. Adanya kasus teror bom dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang salah
dan kurang pengertian akan agamanya. Misalnya peristiwa ledakan bom yang
terjadi di hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta
pada 17 Juli 2009 lalu. Peristiwa bom bunuh
diri tersebut menewaskan 9 orang korban dan melukai lebih dari 50
orang lainnya, baik warga Indonesia maupun warga asing (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Jakarta_2009). Pelakunya adalah sekelompok
orang yang mengatasnamakan agama Islam. Mereka salah mengartikan kata jihad
dalam ajaran agama Islam. Masyarakat harus mengerti bahwa pada dasarnya setiap
agama mengajarkan untuk hidup berdamai. Toleransi antar umat harus terus
dibangun, agar tiang bangsa ini semakin kokoh. Hal tersebut telah dicontohkan
oleh Jokowi-Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Terbukti mereka dipercayai oleh rakyat
sebagai pemimpin. Walaupun mereka berbeda agama, namun dalam hal kepemerintahan
mereka dapat bekerja sama dengan baik. (sumber: politik.kompasiana.com/2012/09/24/hampir-separuh-jakarta-belum-percaya-jokowi-ahok-495671.html).
Sila
kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Memberadabkan sesama merupakan modal
utama dalam relasi sosial. Indonesia sangat menjunjung tinggi adanya peri
kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya-upaya perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM). Pemerintah telah mengupayakan agar rakyat memeroleh persamaan
hak di depan hukum, seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya. Namun kenyataannya, hal tersebut hanya
sebagai simbol semata. Banyak terjadi kasus penganiayaan, pemerkosaan, bahkan
pembunuhan. Para pelaku dengan sengaja melakukan berbagai tindak kejahatan
tersebut. Mereka seakan tidak memiliki peri kemanusiaan lagi. Hal yang harus
diperhatikn adalah bagaimana kita memanusiakan manusia. Manusia sebagai ciptaan
Tuhan harus senantiasa dijunjung martabatnya, bukan justru direnggut
kemartabatannya. Lalu dimana rasa kemanusiaan itu?
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Persatuan bangsa
kita, sangat jelas tergambar dalam naskah sumpah pemuda. Para Pemuda berjanji
bahwa berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Namun,
cita-cita para pemuda itu nampaknya sulit untuk dipertahankan. Kita lihat saja
keadaan dunia politik negara ini. Sudah tidak dapat dihitung lagi berapa banyak
partai politik. Namun apa yang mereka lakukan untuk bangsa ini? Setiap akan
diadakannya pemilu, partai-partai tersebut berlomba mencuri simpatik rakyat.
Mereka sibuk memikirkan cara bagaimana bisa menang dalam pemilu tersebut. Tak
segan mereka menggunakan cara licik, misalnya politik uang. Jelas terlihat
bahwa mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok, bahkan pribadi saja. Lalu
dimanakah nilai persatuan itu ada? Seharusnya mereka bersatu untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat, membuat bangsa ini dapat berdiri dengan tegak.
Bukan justru memecah belah menjadi partai-partai yang memperjuangkan kemenangan
partai tersebut, tanpa memikirkan nasib rakyat yang telah termakan oleh
janji-janji mereka.
Di kalangan generasi muda, nilai-nilai persatuan sudah
terlihat pudar, bahkan dapat dikatakan sudah menghilang. Kita lihat saja
banyaknya kasus bentrok dan tawuran, baik itu di kalangan pelajar maupun
mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agen of change, justru
memberikan contoh yang kurang baik kepada generasi di bwahnya, yaitu SMA, SMP,
maupun SD. Mahasiswa memang dibenarkan dalam hal mengeluarkan aspirasi atau
pendapat dalam bentuk demonstrasi. Namun, kewenangan ini disalahgunakan oleh
mahasiswa, yang seenaknya saja menggunakan unsur anarkisme. Pada ujungnya akan
terjadi bentrok mahasiswa dengan petugas, bahkan antar sesama mahasiswa. Inilah
yang salah di negara ini. Negara
yang katanya beragama dan berbudaya tinggi ini, sekarang lebih dikenal dengan
negara anarkisme.Para penerus bangsa seharusnya tidak merusak tatanan
yang sudah ada, namun sebisa mungkin memperbaikinya. Menggalang persatuan dan
kesatuan untuk Indonesia yang lebih baik ke depannya.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Adanya sistem demokrasi,
pemerintahan di tangan rakyat, merupakan aktualisasi dari sila ini. Sebagai
negara demokrasi, Indonesia memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih
siapa yang akan memimpin dan mewakili mereka di dunia pemerintahan. Namun
kepercayaan yang telah diserahkan oleh rakyat tersebut, sering disalahgunakan
oleh para wakil rakyat. Kita lihat saja rencana program pemerintah kesekjenan
DPR di akhir tahun 2012 yang meliputi :
1.
Penggantian pagar batas dengan Taman Ria, Rp
1.023.211.000 (per 30 November)
2.
Renovasi toilet Gedung Nusantara I DPR RI Rp
1.406.291.000 (per 22 November)
3.
Perbaikan ruang kerja anggota di Gedung Nusantara I DPR
RI, Rp 6.267.286.000 (per 27 November)
4.
Pengadaan tenaga keamanan pada Setjen DPR, Rp
13.168.706.600
5.
Perbaikan waterproofing lantai 3 dan 4 gedung Nusantara
I DPR, Rp 729.724.000
6.
Pengadaan mesin foto copy kecepatan tinggi untuk
masing-masing sekretariat fraksi, Rp 1.667.500.000
Bila dijumlahkan, keseluruhan proyek akhir tahun ini
senilai Rp 24.272.718.600 (sumber: http://forumkeadilan.com/read/2012/11/07/meski-dikecam-renovasi-toilet-dpr-rp14-milyar-tetap-jalan/)
Dengan angka yang cukup fantastis tersebut, hanya digunakan untuk memfasilitasi
para pejabat pemerintahan. Lalu bagaimana dengan kondisi anak-anak jalanan dan
keluarga miskin lainnya?
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Jika kita
perhatikan, pelaksanaan nilai keadilan di negara ini masih sangat sedikit. Kita
lihat saja dari dunia hukum. Pada hakikatnya, setiap masyarakat memiliki
kedudukan yang sama di mata hukum. Namun kenyataannya, banyak masyarakat kecil
yang dipandang rendah di mata hukum. Mereka cenderung dikalahkan oleh
orang-orang berjas dan bermobil mewah. Kita lihat kasus korupsi di pemerintahan
negara ini yang tak ujung berhenti. Tiap tahun selalu muncul kasus-kasus
korupsi, baik itu di tingkat pemerintah daerah maupun di tingkat pusat.
Misalnya kasus bank Centuri yang hingga kini belum menemukan titik terang.
(sumber: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/03/11244617/
Timwas.Century.Panggil.Penyidik.Polri.dan.Kejaksaan?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=).
Hukum yang berlaku bagi
para koruptor itu pun tak adil. Uang rakyat yang mereka korupsi
bertriliun-triliun rupiah, namun mereka hanya dijatuhi hukuman sekitar 2 tahun
penjara. Selain itu, denda yang harus mereka bayar tidak sepadan dengan uang
hasil korupsi mereka. Bandingkan dengan kasus pencurian kelapa sawit oleh
seorang kakek di Sampit yang dihukum 6 bulan penjara.
Di
bidang kesehatanpun, keadilan tetap saja tidak dapat ditegakkan. Adanya kartu
jaminan kesehatan bagi keluarga yang tidak mampu, tidak akan berhasil jika
pelaksanaannya masih banyak penyimpangan. Banyak keluarga miskin yang ingin
berobat dengan kartu tersebut,dengan harapan akan memperoleh pelayanan secara
gratis. Namun apa yang terjadi? Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan
pelayanan dengan baik. Misalnya di Jakarta baru-baru ini, ada seorang ibu yang
mengobatkan anaknya ke Rumah Sakit dengan membawa kartu tersebut, namun
ditolak. Pihak rumah sakit memberikan alasan bahwa semua kamar telah penuh oleh
para pejabat yang sakit. Kalau hal serupa masih banyak terjadi, angka kematian
di Indonesia akan semakin tinggi. Di mana letak keadilan di negara ini?
Berbagai
penyimpangan tersebut, sangat tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia
yang dulunya di cita-citakan para pendiri bangsa. Kemana pancasila itu pergi? Menyikapi
berbagai penyimpangan nilai-nilai Pancasila tersebut, masyarakat perlu untuk menginternalisasikan
dan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai dasar
negara semestinya menjadi landasan spiritualitas bangsa Indonesia. Ketuhanan
seharusnya menjadi landasan etik hidup bernegara, nilai-nilai kemanusiaan
semestinya menjadi landasan, nilai persatuan menjadi warisan pendiri bangsa,
nilai demokrasi menjadi acuan kehidupan berbangsa bernegara, serta nilai
keadilan menjadi tujuan semua warga tanpa terkecuali. Nilai-nilai Pancasila ini
harus direfleksikan dan diinternalisasikan lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Yang perlu dilakukan adalah proses radikalisasi Pancasila. Radikalisasi yang
dimaksud adalah radikalisasi untuk membuat Pancasila lebih operasional dalam
kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau
pragmatis, dan bersifat fungsional
Pancasila harus kembali ditanamkan dalam jiwa-jiwa
anak bangsa melalui proses pendidikan di semua lapisan masyarakat. Kita semua
memiliki tanggungjawab moral untuk membangun toleransi, menegakkan dan
memperkokoh empat pilar kenegaraan dalam setiap diri anak bangsa. Terkait
dengan hal ini maka setiap warga negara, penyelenggara negara dan lembaga
kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan lainnya sudah saatnya memahami serta
mengimplementasikan empat pilar kenegaraan tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila, Undang-undang dasar
negara republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
Bhineka Tunggal Ika semakin kokoh dan tidak mudah rapuh oleh berbagai tantangan
dan ancaman yang menghadang bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan
datang.
Kini
sampai kapankah penyimpangan ini akan terus terjadi? Karakter Pancasila yang
katanya berpihak pada ekonomi kerakyatan, kemanusiaan yang adil dan beradab,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi karakter tersebut tidak
dimiliki manusia-manusia yang ada di dalamnya. Kemanakah spiritualitas
Pancasila itu pergi? Jangan-jangan Sang Garuda sedang terlelap atau masih pergi
ke Luar Negeri? Salah didikkah anak-anak di negeri ini? Bisa saja itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar