Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 1929
Tebal Buku : 192 Halaman
Periode : 1920-an/ Balai Pustaka
Sinopsis cerita :
Di sebuah kampung hiduplah seorang
pemuda bernama Midun. Ia merupakan pemuda yang banyak disenangi warga karena
sifatnya yang rendah hati, baik, taat beragama, dan juga pintar silat. Seorang
pemuda lain, bernama Kacak merupakan seorang pemuda yang sombong, karena
Mamaknya (Tuanku Laras) adalah seorang kepala desa yang kaya raya. Ia sangat
iri melihat Midun banyak disenangi warga.
Suatu hari Midun berniat untuk
menyelamatkan orang-orang pasar dari amukan Pak Inuh (paman Kacak yang hilang
ingatan), tetapi ia justru difitnah oleh Kacak telah melukai Pak Inuh.
Sebenarnya Pak Inuh tidak dilukai oleh Midun, karena luka tersebut adalah atas
ulah Pak Inuh sendiri. Kacak melaporkan
Midun kepada Tuanku Laras hingga ia dihukum bekerja rodi selama enam hari di
rumahnya. Orang yang ditugaskan Tuanku Laras untuk mengawasi Midun selama
mendapat hukuman adalah Kacak. Kesempatan itu digunakan oleh Kacak untuk
menyiksa Midun setiap hari. Semua itu diterima Midun dengan ketabahan. Setelah
Midun bebas, Kacak belum juga puas.
Kacak berniat untuk melenyapkan
Midun. Ia menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Midun saat ada pasar malam
dan pacuan kuda di Bukittinggi. Sewaktu Midun dan Maun (sahabatnya) sedang
membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda, orang-orang
sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan pisau. Tapi untung Midun berhasil
mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak bisa dihindari. Maka
terjadilah keributan di dalam acara pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti
ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung ditangkap dan dibawa ke kantor
polisi. Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah
dan wajib mendekam dalam penjara. Di dalam penjara Midun mendapat berbagai
siksaan baik dari sipir penjara, maupun oleh tahanan lain. Setelah mengetahui
ilmu silat yang dimiliki Midun, mereka tidak berani lagi mengganggu Midun.
Ketika Midun sedang bertugas menyapu
jalan, Midun Melihat sebuah kalung milik seorang gadis tertinggal di bawah
pokon kenari. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis.
Betapa senang hati gadis itu. Mereka pun saling jatuh cinta. Setelah masa hukumannya usai, ia
mencoba menolong jiwa Halimah yang terancam. Halimah meminta Midun untuk
mengantarkannya ke Jawa. Sebuah petualangan hidup akhirnya dijalani Midun
disana. Banyak kejadian yang memberikannya pengalaman hidup. Dia pernah ditipu
oleh saudagar Arab, namun dengan sukses ia dapat melaluinya. Sampai suatu
ketika ia diangkat menjadi menteri polisi dan kemudian menikah dengan Halimah.
Sementara itu, ayah Midun meninggal di kampung halamannya dan seluruh harta
warisan ayahnya diambil oleh pihak keluarga ayahnya.
Selama enam tahun, Midun tidak pernah
pulang ke kampung halamannya, karena ia merasa tidak aman dengan kehadiran
Kacak, ia ingin merantau di Jawa saja. Ia bersama istrinya, berniat menemui
keluarga Midun. Midun kemudian ditugaskan di Bukittinggi sebagai asisten
demang. Kemudian ia dingkat pula menjadi penghulu kampung. Di sisi lain, Kacak
yang malu dengan kesuksesan Midun meninggalkan kampung itu pergi entah kemana.
Komentar
:
Novel
karya Tulis Sutan Sati ini bertema kesabaran seseorang dalam menerima
penderitaan. Sesuai karakteristik karya sastra angkatan Balai Pustaka, novel
ini diciptakan sesuai realita masyarakat. Midun, sang pemuda shalih, tidak
dikisahkan berhati putih selalu. Kadang ia dihantam keputusasaan, ia terpaksa berprasangka
buruk kepada Kacak yang memang ingin menyingkirkannya, selain itu ia juga
mengalah kepada sipir yang rakus kala dikirimi makanan oleh Halimah.
Penggambaran karakter yang sesuai realita meski tetap terdapat pelajaran budi pekerti.
Ceritanya
kebanyakan berlatarkan kota Padang (Minangkabau) sesuai asal daerah pengarang. Gaya penulisan pengarang lebih banyak menggunakan bahasa
melayu yang tidak lain yakni bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau.
Meskipun pengarang menggunakan kalimat panjang-panjang, termasuk dalam dialog,
novel ini tetap sedap dibaca. Gaya bahasanya yang indah dan diselingi
peribahasa menambah pembaca tidak bosan. Novel ini bersifat mendidik, dengan
banyaknya amanat yang terdapat didalamnya. Tulis Sutan Sati pun mengungkap unsur-unsur budaya
Minang yang terkadang memberatkan, seperti pemerolehan harta warisan bukan
kepada anak-anak melainkan
keponakan lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar