Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit : LkiS Yogyakarta
Terbit : cetakan ke-2, 1999
Tebal : 144 halaman
Periode : 1990an
Novel ini menceritakan perjuangan
para pemuda yang menyebut dirinya Hizbullah dalam membela tanah air dari penjajahan
Belanda. Masalah serius timbul setelah kemerdekaan, banyak organisasi pemuda
yang ingin mendirikan negara sendiri karena tidak puas dengan pemerintahan yang
ada.
Suatu hari seorang guru silat yang bernama Kyai Ngumar
memerintahkan muridnya, yaitu Amid dan Kiram untuk bergabung membantu tentara RI
dalam melumpuhkan pasukan Belanda. Dini hari Amid dan
Kiram berangkat menuju Purwokerto, tanpa membawa senjata. Dalam ketidakpahaman
dan ketidakmengertian, mereka berdua membantu apa adanya.
Singkat cerita tentara RI dapat melumpuhkan Belanda.
Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi.
Hizbullah tidak memiliki musuh lagi, dari peristiwa ini muncul masalah mereka
harus meleburkan diri ke dalam tentara republik atau membubarkan diri. Atas
anjuran Kiai Ngumar mereka pergi ke Kebumen untuk bergabung dengan tentara
Republik. Pagi-pagi ratusan anggota Hizbullah yang memilih melebur ke dalam
tentara Republik berhimpun di suatu tepi rel kereta api. Mereka akan diangkut
ke Purwokerto untuk dilantik.
Ketika kereta api mulai mendekat
anggota Hizbullah dikagetkan oleh rentetan tembakan yang mengarah ke mereka.
Tak ada jalan lain kecuali mempertahankan diri dengan membalas tembakan. Dengan
perang kecil ini, para anggota Hizbullah merasa dikhianati entah oleh siapa.
Mereka yakin, itu bukan tentara Republik yang sebenarnya, akan tetapi ada pihak
dari kalangan pasukan republik yang berkhianat mencantumkan nama pasukan
republik. Mereka menduga bahwa penembak itu adalah orang-orang komunis. Ditambah lagi sehari berikutnya tentara Republik
menyerang hingga anggota Hizbullah semakin tersingkir. Dari sinilah anggapan pemberontak mulai diberikan kepada mereka. Tidak ada tempat aman untuk berlindung walau di
kampung sendiri. Tak ada jalan kecuali menyingkir.
Tidak ada yang tahu siapa yang berusaha membuat permusuhan
antara Hizbullah dan tentara RI. Pasukan Hizbullah merasa dihianati. Amid,
Kiram, Jun, Jalal dan Kang Suyud akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan
Darul Islam mereka bergerilya melawan tentara RI. Kelompok komunis
membentuk gerakan siluman yang menyusup ke OPR (Organisasi
Perlawanan Rakyat). Mereka menggunakan nama kelompok Amid untuk melakukan perampokan-perampokan
terhadap orang-orang dusun. Rakyat pun mulai ketakutan terhadap kelompok tersebut. Hal ini
membuat DI semakin terdesak dan akhirnya pasukan DI harus menyusup ke dalam
hutan untuk bersembunyi, menghindari
kejaran tentara RI.
Akhir Juni 1962, Toyib, seorang DI
yang berpangkalan di wilayah Gunung Slamet datang ke tempat persembunyian Amid
dan Kiram. Ia membawa berita bahwa Kartosuwiryo, Klifah Darul Islam tertangkap
Pasukan Republik, Toyib juga membawa selebaran yang berisi seruan agar para
anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri dengan jaminan pengampunan
nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dengan perasaan kecewa lantaran semua pengorbanan selama
ini yang dilakukannya sia-sia, akhirnya Amid dan kawan-kawan menyerah. Selama tiga tahun, Amid dan kawan-kawan
berusaha membaur dengan masyarakat. Hingga perlahan-lahan mereka bisa diterima
masyarakat, meskipun orang-orang komunis sering menyudutkan mereka.
Suatu
hari terjadi penyerangan yang dilakukan kelompok komunis. Dalam situasi yang
mencekam, tentara RI meminta bantuan Amid, Kiram, dan Jun untuk menunjukkan
dimana letak persembunyaian kelompok komunis. Tanpa diduga, Karim meminta untuk
bergabung dengan tentara RI untuk menggerbek komunis. Permintaan itu dikabulkan
oleh komandan tentara RI. Akhirnya setelah tiga tahun tidak menyentuh senjata,
Kiram, Amid, dan Jun mulai melakukan pertempuran.
Namun dalam pertempuran hebat tersebut, Amid tertembak,
hingga akhirnya dia syahid di jalan Allah.
Komentar
:
Novel berjudul Lingkar Tanah Lingkar
Air ini berlatar belakang pemberontakan DI/TII
di Jawa Barat dengan pemimpinnya, Kartosuwiryo. Kisah para santri dalam
mempertahankan kemerdekaan. Mereka dihadapkan pada pilihan yang sungguh pelik,
antara kesetiaan terhadap NKRI dan memilih ukhuwah. Novel ini penuh dengan ketegangan, para pelaku utamanya yang
selalu terseret pada permasalahan yang tak pernah diinginkan. Bukan
keinginannya sendiri untuk menjadi pemberontak, tetapi ada pihak-pihak yang
justru mendorong para pelakunya untuk menyingkir yang kemudian bisa diberikan label pemberontak.
Ketika terpaksa jadi pemberontak pun, tak ada celah untuk menyerah. Jangankan mendapatkan
ampunan, untuk sekedar menyerahkan diri hidup-hidup saja tidak ada jaminan.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini, Ahmad Tohari sangat kuat menceritakan tentang suasana pedesaan, Purwokerto, yang diramu dengan suasana belantara hutan jati yang
terpencil dan asing. Alur yang digunakan adalah campuran
sehingga ceritanya lebih hidup. Pengarang menggunakan latar di Purwokerto dan
hutan belantara. Dari segi tata
bahasa, penulis begitu cerdas menggambarkan alur yang berubah-ubah namun tetap
dinamis, sehingga pembaca mampu memahami isi
cerita. Selain itu, penulis member sentuhan bahasa Jawa seperti penggunaan kata
sampean dan andum slamet, yang menambah suasana kejawaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar