Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Sejarah sastra Novel "Belenggu"



Pengarang       : Armyn Pane
Penerbit           : PT Pustaka Rakyat – Jakarta
Tahun Terbit    : 1933
Cetakan           : Keempat – Maret 1957
Tebal               : 132 halaman
Periode            : 1930-an/Pujangga Baru
            Novel ini menceritakan tentang adanya kemelut kehidupan rumah tangga, antara Sumartini (Tini) dan Sukartono (Tono). Tono adalah seorang dokter yang menikahi Tini tidak dengan berdasarkan cinta, tetapi karena Tini dianggap pantas untuk mendampinginya. Demikian pula sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter Tono. Ia hanya sekedar ingin membantu karier Tono dan melupakan masa lalunya yang kelam. Kemelut dalam rumah tangga ini tak dapat terhindari. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing takacuh serta sering salah paham dan bertengkar.
            Ketidakharmonisan keluarga ini semakin menjadi karena Tono terlalu sibuk merawat pasien sehingga dia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab dia ingin Tini menjadi istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di rumah.
            Dokter Tono mendapat panggilan dari seseorang yang bernama Nyonya Eni, yang mengaku dirinya sedang sakit keras dan minta dirawat. Ketika Tono mendatanginya, dia terkejut ketika mengetahui bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah Rohayah (Yah), teman kecilnya di sekolah rakyat. Pada saat itu Yah telah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta. Di Jakarta Yah terjun ke dunia malam, ia menjadi pelacur dan selama tiga tahun ia menjadi simpanan pria Belanda. Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama mencintai Dokter Tono, oleh karena itu Yah mencoba menggoda dokter tersebut. Pada awalnya Dokter Tono tidak tergoda, namun Yah terus menggodanya sehingga Tono pun tergoda. Menurut Tono, Yah dapat memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkannya. Dokter Tono tidak pernah merasakan ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, sehingga dia sering mengunjungi Yah. Dia mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua. 
            Suatu hari terungkaplah masa lalu kelam Tini bersama Hartono, yang telah merenggut keperawanannya saat masih kuliah. Setelah itu, Tini pun mengetahui hubungan suaminya dengan Yah. Masalah semakin runyam hingga Tini memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi luluh. Yah yang sebelumnya dianggap sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut dan ramah. Tini mulai beranggapan bahwa Yah lebih cocok untuk Tono. Dia merasa telah gagal menjadi Istri, sehingga dia mutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono. Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air, pergi ke Calidonia.
Komentar :
            Sesuai dengan karakteristik karya sastra peride 1930-an atau angkatan Pujangga Baru, tema yang diangkat dalam roman ini lebih beragam daripada angkatan Balai Pustaka. Roman ini mengangkat tema tentang persoalan suami istri. Roman ini begitu berani mengungkap kejelekan rumah tangga dari seorang dokter, profesi yang dianggap terpandang. Dalam novel ini bisa dilihat bahwa hubungan antara Tono dan Tini bukanlah selayaknya pasangan suami istri pada umumnya. Terkesan hanya menjalani sebuah hidup dengan status sosial semata, sementara masalah hati tidak diabaikan dalam bahtera rumah tangga mereka.
Armyn Pane selaku penulis buku ini membuat sebuah karya yang mampu membawa pembacanya seolah masuk dalam perasaan emosional para pelaku dalam cerita. Penggunaan gaya bahasa Indonesia dan masih bercampur dengan bahasa Belanda menambah estetika dari roman ini. Maka tak heran banyak kosakata yang terdengar asing jika diucapkan saat ini, seperti prognose, rouge, realiteit, dll. Roman ini sempat ditolak oleh Balai Pustaka dengan alasan isi ceritanya mengandung banyak kritik sosial dan politik yang bisa memicu konflik dalam masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar