Pengarang :
A.A Navis
Buku :
kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami”
Tahun : 1956
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
139 halaman
Di
sebuah desa, hidup seorang kakek tua penjaga surau. Beliau sangat mahir dalam mengasah
pisau. Maka penduduk biasanya meminta tolong untuk mengasahkan pisau mereka.Dia
hidup sebatang kara, tak beristri, dengan upah hasil ia mengasah pisau. Biasanya
masyarakat yang meminta bantuannya mengasah pisau akan memberinya sambal,
rokok, ataupun sedikit uang. Tidak sedikit juga yang hanya memberinya ucapan
terima kasih. Enam bulan sekali dia mendapatkan ikan hasil pemunggahan dari
kolam ikan mas yang ada di depan surau, selain itu setahun sekali ia
mendapatkan fitrah Id dari orang-orang yang tinggal disekitarnya. Dia memiliki
keyakinan bahwa materi bukanlah segala-galanya dan dia berpikir lebih baik ia
memikirkan kehidupan nanti di akhirat dari pada kehidupan sekarang di dunia.
Kakek tersebut taat beribadah sampai-sampai melupakan semua kebutuhan
duniawinya.
Suatu
hari Ajo Sidi menemui Kakek di surau. Ajo Sidi dikenal sebagai seorang pembual
desa yang sering menceritakan kisah-kisah yang pelaku-pelaku dalam kisah
tersebut adalah orang-orang yang menurutnya mempunyai kesamaan perilaku dengan orang
yang diajak bercerita. Biasanya Ajo Sidi akan menceritakan kisah yang sifatnya
menghina orang yang sedang ia ajak bicara. Namun kelebihan yang dia miliki
adalah, dia merupakan orang yang suka bekerja keras karena hampir sepanjang
waktunya dia habiskan untuk bekerja. Ajo Sidi menceritakan kisah tentang Haji
Saleh, seorang alim yang seumur hidupnya dia habiskan untuk ibadah namun di
akhirat Haji Saleh tetap saja masuk ke neraka. Dalam cerita karangan Ajo Sidi,
Tuhan marah kepada Haji Saleh karena dia terlalu egois sehingga mengabaikan
kebutuhan keluarganya di dunia karena terlalu sibuk mengejar kehidupan indah di
surga nantinya.
Kakek
sangat tersinggung dan marah mendengar cerita Ajo Sidi. Setelah itu, Kakek menjadi
pendiam dan kelihatan murung. Di Surau yang merupakan tempat tinggalnya itu
Kakek hanya duduk dan termenung memikirkan cerita yang beberapa hari lalu
didengarnya itu. Entah bagaimana Kakek merasa bersalah dan sangat berdosa,
hingga pada suatu hari Kakek ditemukan telah mati bunuh diri di surau. Dia
menggorok lehernya menggunakan pisau yang sebelumnya dia tujukan untuk
menggorok leher Ajo Sidi demi melampiaskan kemarahannya. Ketika Ajo Sidi dicari
untuk dimintai pertanggung jawabannya, Ajo Sidi malah tidak ada di rumahnya
karena dia sedang pergi bekerja seperti biasanya. Dia hanya menitipkan pesan
pada istrinya untuk membelikan tujuh lapis kain kafan untuk Kakek.
Komentar :
Sesuai dengan karakteristik karya
sastra periode 50-an, karya sastra yang muncul didominasi oleh cerpen. Hal ini
disebabkan oleh krisis sastra yang terjadi pada zaman itu. Macetnya penerbitan
Balai Pustaka, karena berkali-kali berubah status dan dipegang oleh bukan
ahlinya sehingga anggaran yang tersedia tidak cukup. Hal ini mengakibatkan
karya sastra yang muncul berupa sastra majalah.
Pokok persoalan cerpen Robohnya
Surau Kami ini sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah
mendengar bualan Ajo Sidi. Cerpen ini mengajarkan kepada kita, untuk hidup
secara seimbang. Hidup dengan tujuan akhir akhirat, tanpa mengesampingkan
kewajiban dunia. A.A Navis mendapatkan ide cerita tersebut setelah mendengar
cerita dari M.Syafei tentang orang Indonesia yang masuk neraka karena malasnya.
Keistimewaan cerpen ini terletak
pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak
biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain.
Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta.
Imajinasi A.A Navis yang begitu luas membuat cerpen ini serasa hidup, meski
menceritakan cerita di alam imajinatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar