Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Sejarah Sastra Cerpen “ROBOHNYA SURAU KAMI”



Pengarang       : A.A Navis
Buku               : kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami”
Tahun              :  1956
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 139 halaman
            Di sebuah desa, hidup seorang kakek tua penjaga surau. Beliau sangat mahir dalam mengasah pisau. Maka penduduk biasanya meminta tolong untuk mengasahkan pisau mereka.Dia hidup sebatang kara, tak beristri, dengan upah hasil ia mengasah pisau. Biasanya masyarakat yang meminta bantuannya mengasah pisau akan memberinya sambal, rokok, ataupun sedikit uang. Tidak sedikit juga yang hanya memberinya ucapan terima kasih. Enam bulan sekali dia mendapatkan ikan hasil pemunggahan dari kolam ikan mas yang ada di depan surau, selain itu setahun sekali ia mendapatkan fitrah Id dari orang-orang yang tinggal disekitarnya. Dia memiliki keyakinan bahwa materi bukanlah segala-galanya dan dia berpikir lebih baik ia memikirkan kehidupan nanti di akhirat dari pada kehidupan sekarang di dunia. Kakek tersebut taat beribadah sampai-sampai melupakan semua kebutuhan duniawinya.
            Suatu  hari Ajo Sidi menemui Kakek di surau. Ajo Sidi dikenal sebagai seorang pembual desa yang sering menceritakan kisah-kisah yang pelaku-pelaku dalam kisah tersebut adalah orang-orang yang menurutnya mempunyai kesamaan perilaku dengan orang yang diajak bercerita. Biasanya Ajo Sidi akan menceritakan kisah yang sifatnya menghina orang yang sedang ia ajak bicara. Namun kelebihan yang dia miliki adalah, dia merupakan orang yang suka bekerja keras karena hampir sepanjang waktunya dia habiskan untuk bekerja. Ajo Sidi menceritakan kisah tentang Haji Saleh, seorang alim yang seumur hidupnya dia habiskan untuk ibadah namun di akhirat Haji Saleh tetap saja masuk ke neraka. Dalam cerita karangan Ajo Sidi, Tuhan marah kepada Haji Saleh karena dia terlalu egois sehingga mengabaikan kebutuhan keluarganya di dunia karena terlalu sibuk mengejar kehidupan indah di surga nantinya.
            Kakek sangat tersinggung dan marah mendengar cerita Ajo Sidi. Setelah itu, Kakek menjadi pendiam dan kelihatan murung. Di Surau yang merupakan tempat tinggalnya itu Kakek hanya duduk dan termenung memikirkan cerita yang beberapa hari lalu didengarnya itu. Entah bagaimana Kakek merasa bersalah dan sangat berdosa, hingga pada suatu hari Kakek ditemukan telah mati bunuh diri di surau. Dia menggorok lehernya menggunakan pisau yang sebelumnya dia tujukan untuk menggorok leher Ajo Sidi demi melampiaskan kemarahannya. Ketika Ajo Sidi dicari untuk dimintai pertanggung jawabannya, Ajo Sidi malah tidak ada di rumahnya karena dia sedang pergi bekerja seperti biasanya. Dia hanya menitipkan pesan pada istrinya untuk membelikan tujuh lapis kain kafan untuk Kakek.
Komentar :
            Sesuai dengan karakteristik karya sastra periode 50-an, karya sastra yang muncul didominasi oleh cerpen. Hal ini disebabkan oleh krisis sastra yang terjadi pada zaman itu. Macetnya penerbitan Balai Pustaka, karena berkali-kali berubah status dan dipegang oleh bukan ahlinya sehingga anggaran yang tersedia tidak cukup. Hal ini mengakibatkan karya sastra yang muncul berupa sastra majalah.
            Pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami ini sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Cerpen ini mengajarkan kepada kita, untuk hidup secara seimbang. Hidup dengan tujuan akhir akhirat, tanpa mengesampingkan kewajiban dunia. A.A Navis mendapatkan ide cerita tersebut setelah mendengar cerita dari M.Syafei tentang orang Indonesia yang masuk neraka karena malasnya.
            Keistimewaan cerpen ini terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Imajinasi A.A Navis yang begitu luas membuat cerpen ini serasa hidup, meski menceritakan cerita di alam imajinatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar