Halaman

Minggu, 23 Desember 2012

Sejarah Sastra Novel "Azab dan Sengsara"



Pengarang       : Merari Siregar
Penerbit           : Balai Pustaka
Terbit               : 1927
Tebal               : 123 Halaman
Periode            : Balai Pustaka
            Di sebuah kota kecil (Sipirok), yang berada di wilayah Tapanuli, hiduplah seorang janda dan dua orang anaknya. Anak pertama seorang gadis, Mariamin namanya, Sedangkan anak kedua laki-laki yang masih berusia empat tahun. Sejak ayahnya meninggal, mereka hidup dalam keterbatasan. Mariamin atau yang sering dipanggil Riam itu memiliki seorang kekasih, yang bernama Aminu’ddin, yang tak lain adalah saudara sepupunya sendiri.
            Suatu hari, Aminu’ddin datang menemui kekasihnya tersebut, tetapi ia bermaksud ingin berpamitan. Ia akan merantau mencari pekerjaan ke Deli agar ia segera dapat menikahi kekasihnya tersebut. Mendengar hal tersebut, hati Riam sangat sedih. Tapi apa boleh buat, Aminu’ddin tetap akan pergi.        Setelah tiga bulan Aminu’ddin ada di Medan, ia mengirim surat pada Mariamin. Ia memberitahukan bahwa  ia telah memiliki pekerjaan dan ia akan segera melamar Riam. Ia juga telah mengirim surat kepada orang tuanya untuk memberitahukan hal tersebut. Ibunya menyetujui rencana anaknya tersebut, namun ternyata Baginda Diatas, yakni ayah Aminu’ddin tidak merestui hubungan tersebut. Baginda Diatas beralasan bahwa keluarga Mariamim adalah keluarga miskin bukan dari golongan bangsawan. Atas kehendak suaminya, Baginda Diatas dan istrinya pergi ke dukun menanyakan siapakah sebenarnya jodoh Aminu’ddin. Maka dikatakannya bahwa Mariamin bukanlah jodoh Aminuddin, melainkan seorang putri kepala kampung yang kaya dan cantik.
            Dengan sangat terpaksa, kecewa dan menyesal Aminudin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya. Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Badannya kurus dan sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia dengan amat sengsara.

Komentar :
            Sesuai dengan karakteristik karya sastra pada periode 1920-an, novel azab dan sengsara ini menceritakan tentang kisah percintaan yang terhalang oleh adat dan status sosial. Hal tersebut sesuai dengan realita masyarakat pada zaman itu, yaitu ketika banyaknya kejadian kawin paksa/perjodohan atas kehendak orang tua bukan atas dasar cinta.
            Merrari Siregar yang bertanah kelahiran Sipirok, menggunakan latar kotanya sendiri. Dalam cerita ini pengarang menggunakan Bahasa Indonesia melayu. Urutan bahasa yang runtut, enak dibaca membuat pembaca mudah memahami cerita tersebut.  Penggunaan ungkapan, gaya bahasa serta peribahasa nampak dalam tiap pengisahan menambah keindahan cerita.  Misalnya ungkapan ‘pokrol bambu’ untuk orang yang suka menghasut dan menipu, sarung bengkok di makan mata pisau yang bermakna orang licik,pelit, serakah akan hancur oleh sifat yang buruk itu.
Novel ini penuh dengan amanat, misalnya selalu bersikap sabar dalam menempuh ujian yang sangat berat, jangan putus asa dari rahmat Allah. Budi pekerti yang baik dan terpuji akan membawa kebahagian hidup di di dunia dan akhirat. Sifat serakah,pelit, kejam, aniaya, khianat akan membawa kehancuran pada orang tersebut. Janganlah kita percaya pada dukun masalah perjodohan karena itu perbuatan musyrik. Manusia hanya merencanakan, Tuhan yang menentukan. Pendidikan moral, agama dan akhlak mulia lebih berharga dari harta benda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar