Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Terbit : 1927
Tebal : 123 Halaman
Periode : Balai Pustaka
Di sebuah kota kecil (Sipirok), yang
berada di wilayah Tapanuli, hiduplah seorang janda dan dua orang anaknya. Anak pertama
seorang gadis, Mariamin namanya, Sedangkan anak kedua laki-laki yang masih
berusia empat tahun. Sejak ayahnya meninggal, mereka hidup dalam keterbatasan.
Mariamin atau yang sering dipanggil Riam itu memiliki seorang kekasih, yang
bernama Aminu’ddin, yang tak lain adalah saudara sepupunya sendiri.
Suatu hari, Aminu’ddin datang
menemui kekasihnya tersebut, tetapi ia bermaksud ingin berpamitan. Ia akan
merantau mencari pekerjaan ke Deli agar ia segera dapat menikahi kekasihnya
tersebut. Mendengar hal tersebut, hati Riam sangat sedih. Tapi apa boleh buat,
Aminu’ddin tetap akan pergi. Setelah
tiga bulan Aminu’ddin ada di Medan, ia mengirim surat pada Mariamin. Ia
memberitahukan bahwa ia telah memiliki pekerjaan dan ia akan segera
melamar Riam. Ia juga telah mengirim surat kepada orang tuanya untuk memberitahukan
hal tersebut. Ibunya menyetujui rencana anaknya tersebut, namun ternyata
Baginda Diatas, yakni ayah Aminu’ddin tidak merestui hubungan tersebut. Baginda
Diatas beralasan bahwa keluarga Mariamim adalah keluarga miskin bukan dari
golongan bangsawan. Atas kehendak suaminya, Baginda Diatas dan istrinya pergi
ke dukun menanyakan siapakah sebenarnya jodoh Aminu’ddin. Maka dikatakannya
bahwa Mariamin bukanlah jodoh Aminuddin, melainkan seorang putri kepala kampung
yang kaya dan cantik.
Dengan sangat terpaksa, kecewa dan
menyesal Aminudin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena
cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat
surat serta permohonan ma’af kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak
Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran
ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin.
Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu
dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia
selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular
kepadanya. Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan
dan pulang kembali ke Sipirok. Badannya kurus dan sakit-sakitan,
hingga akhirnya meninggal dunia dengan amat sengsara.
Komentar :
Sesuai
dengan karakteristik karya sastra pada periode 1920-an, novel azab dan sengsara
ini menceritakan tentang kisah percintaan yang terhalang oleh adat dan status
sosial. Hal tersebut sesuai dengan realita masyarakat pada zaman itu, yaitu
ketika banyaknya kejadian kawin paksa/perjodohan atas kehendak orang tua bukan
atas dasar cinta.
Merrari
Siregar yang bertanah kelahiran Sipirok, menggunakan latar kotanya sendiri. Dalam
cerita ini pengarang menggunakan Bahasa Indonesia melayu. Urutan bahasa yang
runtut, enak dibaca membuat pembaca mudah memahami cerita tersebut. Penggunaan ungkapan, gaya bahasa serta
peribahasa nampak dalam tiap pengisahan menambah keindahan cerita. Misalnya ungkapan ‘pokrol bambu’ untuk orang
yang suka menghasut dan menipu, sarung bengkok di makan mata pisau yang
bermakna orang licik,pelit, serakah akan hancur oleh sifat yang buruk itu.
Novel ini penuh dengan amanat,
misalnya selalu bersikap sabar dalam menempuh ujian yang sangat berat, jangan
putus asa dari rahmat Allah. Budi pekerti yang baik dan terpuji akan membawa
kebahagian hidup di di dunia dan akhirat. Sifat serakah,pelit, kejam, aniaya, khianat
akan membawa kehancuran pada orang tersebut. Janganlah kita percaya pada dukun
masalah perjodohan karena itu perbuatan musyrik. Manusia hanya merencanakan,
Tuhan yang menentukan. Pendidikan moral, agama dan akhlak mulia lebih berharga
dari harta benda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar